Bangsa-bangsa tercipta agar tak ada lagi orang asing, yang ada hanya orang yang berbeda, dan kita bisa mencintai keberbedaan itu

KITAB KOPI DAN ROKOK

Jumat, April 17, 2009

Judul : Kitab Kopi dan Rokok
Judul Asli : Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan
Penulis : Syaikh Ihsan Jampes
Penerbit : Pustaka Pesantren
Cetakan : 1, Februari 2009
Tebal : xxv + 110 halaman

Selengkapnya untuk membaca Resensi Buku ini

BERFATWA DENGAN LUWES DAN KONTEKSTUAL
Oleh: Abdullah Ubaid Mathraji**

Kopi dan rokok pantas dibilang sobat kental atau teman akrab. Di mana ada gelas kotor bekas kopi, tengok saja kanan kiri di sekitarnya biasanya ditemukan abu rokok. Ngudut lan ngopi, merokok sambil minum kopi, begitulah orang Jawa menyebut kebiasaan ini. Arek Jawa Timuran punya tradisi cangkruan, nongkrong di warung kecil pinggir jalan, dimana stok rokok dan kopinya selalu ada. Bocah Jawa Tengahan, khususnya Yogyakarta, akrab dengan tradisi angkringan, metangkring atau duduk dikursi agak tinggi di pinggir jalan. Ngapain? Ngudut lan ngopi. Ada yang hanya melepas lelah, ngobrol ringan, janjian dengan teman, syukuran, hingga konsolidasi politik. Semua dilakoni sambil ngopi lan ngudut.
Itu fenomena yang terjadi di jalanan atau katakanlah di sudut-sudut jalan. Di dunia pendidikan, kopi dan rokok juga tak kalah ramai penggemarnya, terutama kalangan pesantren. Kiai atau ustadz di pesantren seakan-akan ilmunya tak bisa keluar, kalau belum menghisap lintingan tembakau dan menyeruput kopi. Apalagi kalau di forum diskusi seperti musyawarah, bahtsul masail, halaqah, maka jangan coba-coba memfasilitasi mereka di ruangan tertutup apalagi berpendingin atau AC, bisa-bisa alarm otomatisnya berdering. Gambaran ini tentu saja tidak semuanya, tapi ini memang ghalib dilakoni. Saking lumrahnya, kebiasaan ini membudaya dan mendarah daging.
Namun, belum lama ini, penikmat rokok sempat memicingkan kedua alisnya. Ada apa gerangan? Mereka mendengar kabar larangan merokok dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Ada-ada saja,” begitu kelakar sebagian orang di kedai Kopi. Kalau pemerintah melarang itu sudah biasa, kan sudah tertulis di belakang bungkus rokok. Meski melarang, pemerintah tetap meraup untung besar dari bisnis tembakau. Betul tidak? Bahkan, perusahaan rokok punya sumbangsih besar dalam memajukan olah raga Indonesia, melalui dana sponsorship yang kian meraksasa itu. Ada juga yang berseloroh nakal, “Jangan-jangan nanti selain ada peringatan pemerintah, juga ada stempel haram dari MUI di bungkus rokok.” Bisa iya, bisa juga tidak.
Bermula dari fatwa MUI yang diterbitkan di Padang Panjang, akhir Januari lalu, gonjang-ganjing seputar hukum merokok mengemuka. MUI mengatakan haram, sebut saja, kiai A dari pesantren B menghukumi makruh, ustadz C dari ormas D berpendirian bahwa hukumnya bisa berubah-ubah tergantung illat, dan seterusnya. Masalah ini sejatinya bukan hal baru. Perdebatan pro-kontra hukum merokok ini, kalau ditelusuri, pernah terjadi pada abad 10 H. Perdebatan tempo dulu itu kini bisa kita nikmati melalui buku Kitab Kopi dan Rokok. Buku yang berjudul asli Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan ini adalah karya Syaikh Ihsan Jampes. Mungkin ada yang bertanya-tanya, Syaikh Ihsan itu siapa?
Ulama asli Indonesia ini namanya memang tak sepopuler penulis buku-buku nge-pop dan best seller sekarang ini. Kiai asal Kediri Jawa Timur ini lahir pada tahun 1901 dengan nama asli Bakri. Ayahnya, KH. Dahlan, adalah perintis pendirian pondok pesantren Jampes tahun 1886. Pada masa remaja, ia ber-rihlah ilmiyah dari pesantren ke pesantren untuk menimba ilmu. Antara lain: Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin, Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang, Pesantren Punduh di Magelang, dan Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil Bangkalan, yang dikenal sebagai gurunya para ulama.
Semasa hidupnya, ia menelorkan beberapa karya yang diakui berbagai kalangan tentang kedalaman ilmunya, terutama Siraj al-Thalibin. Kitab ini mampu menembus pasar international, hinggi kini masih diproduksi oleh penerbit besar di Mesir, Mustafa al-Bab al-Halab. Karya lainnya yang masih terlacak yaitu Tashrih al-Ibarat tentang astronomi dan Manahij al-Imdad seputar tasawuf. Selain kitab-kitab tersebut masih ada beberapa karya yang disinyalir masih belum ditemukan. Salah satunya adalah Kitab Kopi dan Rokok.
Karya adaptasi puitik atas Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa al-dhukhan ini merupakan goresan tangan Syaikh Ihsan yang telah tertimbun lebih dari setengah abad di bilik pesantren. Baru belakangan ditemukan, lalu diterjemahkan seperti dihadapan pembaca saat ini. Buku ini adalah satu-satunya buku di Indonesia, mungkin juga di dunia, yang memuat seluk beluk kopi dan rokok, mulai dari: sejarah, polemik hukum mengkonsumsi, hingga kasiat yang dikandung. Fenomenal bukan? Terserah anda bagaimana menyimpulkan.
Dalam membahas pro-kontra hukum rokok, Syaikh Ihsan menyederhanakan pembahasan ini dalam dua bahasan. Pertama, ulama yang mengharamkan rokok. Antara lain: Ibrahim al-Laqqani al-Maliki, al-Tharabisyi, al-Muhaqqiq al-Bujairimi, dan Hasan al-Syaranbila. Argumentasi mereka rata-rata didasarkan atas efek samping atau bahaya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi rokok. Misalnya, merusak kesehatan, melemahkan badan, dan juga berimbas pada pemborosan (isyraf).
Kedua, ulama yang menghalalkan rokok. Di antaranya: Abd al-Ghani al-Nabilisi, al-Syabramalis, al-Sulthan al-Halab, al-Barmawi, al-Rusyd, dan Ali al-Ajhury. Mereka berdalih bahwa rokok tidak najis, atau dapat menghilangkan kesadaran. Bahkan, rokok memberikan semangat baru dalam menjalani kehidupan. Baginya, tidak adanya dalil yang dijadikan dasar untuk mengharamkan rokok adalah dalil bahwa menghisap dan mengkonsumsi rokok hukumnya mubah. Kelompok ini cenderung tidak menjeneralisir masalah. Hukum mubah ini adalah berlaku bagi orang yang tidak terganggu kesehatannya atau hilang ingatannya ketika merokok.
Pada posisi ini, Syaikh Ihsan tidak terjebak dalam perdebatan dua kubu. Ia malah memberikan jawaban alternatif. Ia berpendapat bahwa merokok adalah makruh. Meski begitu, hukum makruh ini tidak tetap. Bisa berubah jadi wajib, jika seandainya seseorang itu tidak atau berhenti merokok maka badannya akan sakit atau tidak bisa beraktifitas dengan baik. Bisa juga berubah jadi haram, bila alokasi uang yang digunakan untuk beli rokok itu seharusnya digunakan untuk menafkahi keluarganya, gara-gara beli rokok keluarganya jadi tidak makan. (h. 78)
Di sinilah letak kedalaman ilmu dan keluwesan cara berfikir Syaikh Ihsan. Dalam menentukan hukum suatu masalah, ia tidak terjebak pada satu keputusan ekstrim, tapi memberikan alternatif jawaban sesuai dengan konteks yang berkembang. Maka tak salah bila pengasuh pesantren salaf Lirboyo Kediri KH. Mahrus Ali (alm.) pernah mengatakan, “Semenjak Syaikh Ihsan wafat sampai kini, belum ada di Indonesia, khususnya di Jawa, seorang ulama atau kiai yang dapat mengimbangi ilmunya.
Keluwesan dalam menentukan suatu hukum, juga tergambar saat kiai yang wafat tahun 1952 ini memfatwakan hukum mengkonsumsi kopi. Setelah menguraikan dua pendapat yang berseberangan, halal dan haram seperti dalam kasus rokok, Syaikh Ihsan memberikan alternatif jawaban yang luwes. Ia sependapat dengan syaikh al-Qadli Ahmad ibn Umar al-Muzjid. Jika minum kopi dengan niat agar kuat beramal dan betaqarrub kepada Allah, maka minum kopi itu bagian dari bentuk taqarrub juga. Jika niat hendak mengerjakan yang hukumnya mubah, maka mubah pula. Begitu seterusnya. Jadi, hukum perantara itu berjalan lurus dengan tujuannya. (h. 25)
Meski ditulis setengah abad yang lalu, buku ini masih menemukan relevansinya di tengah kebingungan orang awam menyikapi hukum merokok yang tengah diharamkan MUI. Bagi saya, ada sedikit celah dalam buku ini. Syaikh Ihsan dalam menganalisis kopi dan rokok selalu menggunakan referensi kitab-kitab yang ditulis oleh seorang ahli agama. Karya ini akan semakin kaya kalau saja penulisnya tidak hanya mengutip pendapat-pendapat ulama ahli agama, tapi juga pakar-pakar ilmu kedokteran yang mengetahui analisis plus minus kopi dan rokok dari sudut pandang medis.
Kehadiran buku ini, dalam konteks kekinian, adalah bacaan alternatif di tengah buku-buku keagamaan yang cenderung menghukumi suatu masalah dengan memakai kaca mata kuda. Rata-rata masalah dihukumi dengan satu sudut pandang dan satu keputusan hukum, tanpa ada alternatif atau pilihan jawaban. Saya tidak habis pikir, ulama yang berkiprah di era revolusi fisik dan awal kemerdekaan mampu berfikir kontekstual melampaui zamannya, sementara di era keterbukaan informasi sekarang ini justeru banyak ahli agama yang berfikir tekstual. Apa ini kemunduran? Wallahu a’lam. []
* Peresensi adalah peneliti pada Lembaga Pengembangan Sumber Daya Pesantren dan Masyarakat (LPSPM) Banten


0 komentar:

  © Free Blogger Templates Columnus by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP